Kamis, 30 Oktober 2008

belajar

Belajar dari Lukman; Hubungan Lembaga, Keluarga dan Pendidikan

Jika dikatakan bahwa keluarga adalah basis pendidikan anak-anak, maka itu benar adanya. Al-Quran dalam surah an-Nisa ayat 8 telah mengeluarkan sindiran yang lembut, bahwa mereka (para orang tua) hendaknya merasa takut/hawatir jika kelak meninggalkan generasi yang lemah baik secara fisik maupun mental spiritual.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

Meskipun sindiran ini dapat berlaku pada kelompok masyarakat atau negara, namun keduanya adalah terdiri dari institusi-institusi pula, yakni institusi terkecil adalah keluarga. Maka keluargalah yang bertanggung jawab atas pertumbuhan anggotanya (anak-anak). Nabi Muhammad saw. dalam hadis riwayat Bukhari menyatakan bahwa semua anak dilahirkan secara fitrah (suci, bersih, bertuhan) maka ibu-bapaknyalah yang paling berperan menjaga dan mengarahkan fitrah itu secara benar. Jika orang tuanya Yahudi, maka anak-anaknya akan diarahkan menjadi Yahudi. Begitu pula Nasrani atau Majusi, maka anak akan diarahkan sebagaimana keyakinan orang tuanya.

Lalu pernahkah terlintas dalam benak kita layaknya nabi Ibrahim, saat akhir hayatnya memikirkan pentingnya agama sebagai jalan hidup, the way of life (Q.S. al-Baqarah 133). Selain nabi Ibrahim, al-Quran pula telah mengabadikan sebuah kisah menarik mengenahi pola pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya.

Adalah Lukman seorang arif nan bijaksana karena telah dikaruniahi hikmah oleh Allah SWT. (Q.S. Lukman 12). Pertama, Lukman mengajarkan kepada anak-anaknya tentang ketuhanan. Bahwa mengimani Allah SWT. adalah satu fitrah, sementara menyekutukan-Nya adalah bentuk kedhaliman (Q.S. Lukman 13). Pelajaran awal yang diberikan Lukman ini merupakan pemenuhan fitrah manusia dimana sejak dalam kandungan, janin-janin telah menyaksikan keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan (Q.S. al-A’raf 171). Kedua, Lukman menggodok mental anak-anaknya dengan sholat, menganjurkan untuk selalu dalam garis norma-norma dan meminimalisir segala bentuk kemunkaran, serta menumbuhkan sifat sabar saat menghadapi cobaan (Q.S. Lukman 17). Ketiga, Lukman mengajarkan tata cara kehidupan bermasyarakat, yakni dengan mengedepankan sikap ramah, sopan-santun, dan menekan sifat sombong (Q.S. Lukman 18-19).

Sejak awal keluarga memang telah dituntut untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anak-anak. Rasulullah saw. menyatakan, didiklah anak-anakmu dan baikanlah pendidikannnya. Menurut Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam bukunya Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam (II: 632) untuk menanamkan nilai-nilai itu yang paling baik dilakukan oleh orang tua adalah secara berurutan, yaitu memberikan keteladanan, membiasakan, memberikan nasihat dan penjelasan dengan bahasa yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak, mengawasi, dan terakhir memberikan sanksi untuk pelanggaran berat dan memberikan hadiah untuk prilaku yang istimewa terpujinya.

Seorang anak menjadi fitnah (Q.S. al-Anfal 28) jika sejak awal keluarga salah menerapkan pola pendidikan padanya, namun sebalikknya, dengan managemen dan pola pendidikan yang benar anak akan menjadi infestasi orang tua kelak di akhirat.

Inilah peran awal keluarga, dimulainya segala aktifitas yang baik dan mendidik. Otoritas hendak dibawa kemana serta mau diapakan seorang anak semua di bawah kekuasaan keluarga. Jika demikian, maka sebuah lembaga pendidikan sifatnya hanyalah membantu sejauh mungkin cita-cita keluarga. Peta kedudukan keluarga yang jelas ini hendaknya difahami betul oleh kedua belah pihak, serta secara terus-menerus melakukan hubungan informatif supaya kelak dalam perjalanannya tidak terjadi hambatan-hambatan.

Lembaga pendidikan pula hendahnya memahami betul hakikat sebuah pendidikan. Kenapa ia dilembagakan, logika pendidikannya seperti apa, falsafah visi serta bagaimana terapan kerja (misi) nya. Yang lebih penting lagi, lembaga harus memiliki kemampuan menjelaskan pada masyarakat sebagai peserta didik dengan lebih arif dan meyakinkan.